Piye, Koe Buruh Tokcer Ora?

Clara
6 min readDec 14, 2017

Permasalahan ketenagakerjaan merupakan salah satu dari sekian banyak masalah yang ada di Indonesia. Aku rasa secara garis besar kita semua punya mimpi yang sama untuk Indonesia yang sejahtera. Faktanya, dengan bonus demografi yang ada dan umur produktif yang melimpah, membuat UU ketenagakerjaan selalu dianggap sebelah mata. Bahkan mirisnya, mayoritas anak muda umur produktif gak aware dengan hak-hak mereka. Saking banyaknya bonus demografi dan ketakutan untuk menjadi pengangguran, tiap orang mati-matian untuk bekerja dan atau menjadi wirausaha.

Grasa-grusu sing penting untung.

Grasa-grusu di sini maksudnya.. pemilik bisnis yang ngira kalo doi dah bikin bisnis, bisa ngasih pekerjaan ke orang lain artinya doi dah jadi superhero tanpa ngeliat lagi gimana nasib si pekerja dengan sederet ketidak-manusiawi-an yang ada (tidak manusiawi=gaji rendah kerjaan super banyak tapi apresiasi gak ada, gak ada trainning buat nambah skill, gak ada waktu pribadi, status kontrak, gak dapat asuransi, gak diangkat-diangkat menjadi pegawai padahal sudah mengabdi belasan tahun, dst. dst). Ehm, ini bahkan terjadi di perusahaan multinasional yang ada di Indonesia loh bukan cuma usaha pribadi.

Di sisi lain, di dunia pekerja kalimat:

“Lo bisa kerja aja syukur, mau nganggur? Jangan macem-macemlah”

“Lembur terus, banyak duit nih, ye?!”(padahal gak ada uang lembur).

“Aku kemarin magang, gak dibayar sih, tapi have fun dan banyak banget yang aku kerjain jadinya lumayan buat bekal kalo nanti kerja. Ntar, katanya kalo dah 3 bulan atau lebih bisa naik jadi pekerja” (Kerja tidak sama dengan proyek sosial. Padahal di UU kamu punya hak untuk dibayar. Sorry to say yang emang sukarela magang gak dibayar dan mau jadi kuli sejati, adalah sebuah kebodohan..kan perih)”

“Ditempatku belom dapat asuransi karena statusnya masih kontrak.”

“Yaudah sih, gak usah baper. Syukur masih bisa dapat kerja. Udahlah bodo amat” dst, dst, dst adalah hal lazim.

Sebagai milenial yang haus akan impak (hehe) langkah konkret untuk seenggaknya mereduksi keperihan di atas; Aku mencoba memotivasi teman-temanku pemilik bisnis sekecil apapun itu untuk aware terhadap UU Ketenagakerjaan. “Kamu boleh berkarya, menciptakan banyak impak dengan karya, tapi kalian gak boleh semena-mena memanfaatkan bonus demografi yang ada” atau ke teman-teman sesama buruh “Buat batu loncatan aja dulu gak apa-apa, kalo gak worth it ya pindahlah. Ntar, kontraknya habis langsung pindah aja. Plislah, realistis.”

Emang bener di Indonesia, 1–10 orang hengkang dari sebuah bisnis/perusahaan masih ada 1000 yang ngantri, istilahnya. Mirisnya lagi ditambah anak muda yang juga gak aware atau pura-pura gak peduli dengan hak-hak mereka. Sesimpel karena ketakutan akan jadi pengangguran, that’s it.

Sebenarnya, kondisi ini dipicu juga dari kualitas kita sebagai buruh yang mayoritas kualitasnya di bawah rata-rata. Kenapa bisa? lagi-lagi adalah masalah pendidikan yang emang gak merata. Selain itu, bahkan lulusan universitas pun gak ngejamin lulusannya untuk siap kerja. Mayoritas lulusan universitas lebih siap jadi akademisi. Padahal, negara kita ini termasuk pemilik kampus terbanyak. Jumlahnya, melebihi Eropa loh! Tapi apa sebanding dengan para lulusannya? Ini faktanya:

“The reality is that high-talented human resource is still difficult to find. This is due to a gap in the education curriculum in Indonesia’s schools and the lack of opportunities in skills improvement. Indonesia ranks 109 out of 189 countries in terms of ease of doing business, according to a World Bank Study, below neighbors such as Singapore, Malaysia, Thailand, and Vietnam. But for startups and their investors, the talent shortage is the biggest headache. Indonesia’s poor education system, ranked last among 40 countries in a global Pearson index last year, has done little to improve a low-skilled workforce that lags behind its neighbors in terms of competitiveness”.

Di sisi lain, pelaku usaha pun punya sudut pandang lain terkait hal ini:

“Kita selalu menggunakan outsourcing itu karena masalah-masalah pesangon-pesangon yang berat, atau buruh kontrak juga. Jadi kalau ada apa-apa di keluarkan buruhnya enggak apa-apa, tanpa perlu pesangon, itu yang terjadi sekarang ini. Untuk menghindari pesangon itu kita memakai outsourcing dan buruh kontrak. Skill tenaga kerja kita memang rendah sekali, sebagian besar yang menjadi masalah kita sekarang ini adalah 50% tenaga kerja kita cuma lulus SD atau tidak lulus. Mengenai tenaga kerja Sarjana yang kena outsourcing juga karena terlalu mahal, dan menghindari pesangon. Misalnya gaji Rp 5–10 juta kalau dia ada masalah maka bisa keluarkan mereka lebih cepat sehingga tidak usah bayar pesangon misalnya 30 kali. Dasar outsourcing itu berdasarkan UU 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang memperbolehkan. Nah kalau buruh pakai UU Pesangon kita pakai outsourcing. Itu menjadi tren dunia yang tidak bisa dihindari lagi.”

Dan beberapa opini dari teman-temanku:

1) “Bukan pengusaha yang ngga sadar kalau mereka harus taat aturan ketenagakerjaan. Kalau bisa dibayar murah, kenapa harus dibayar mahal ? biaya pekerja ditekan, margin naik, tambah untung, bahkan kalau bisa bikin AI, gaperlu urus orang, invest sekali.”

2) “Balik lagi pilihan mau jadi tenaga kerja apa entrepreneur. Prinsipnya semua orang doing bisnis. Entrepreneur jual produk. Tenaga kerja jual tenaga, waktu, dan skillnya. Setiap perusahaan punya caranya sendiri untuk menghargai employeenya. Jadi proses negosiasi terjadi karena transaksi yang saling menguntungkan antara employ dan bisnis. Bukan karena undang undang.”

3) “Kadang dilemanya karena masih banyak yang mau dibayar “seadanya” jadi proses negosiasi pun menjadi berakhir pada “kalo gak mau dibayar segitu, cari yang lain aja” nah sometime posisi yang ngasih kerjaan pun belum tentu mampu memenuhi syarat undang-undang atau kudu berani ngerjain sendiri tanpa karyawan daripada melanggar. Selain tentang gaji, juga faktor keamanan, kenyamanan, dll juga jadi pengaruh besar.”

Tentu saja, kita gak bisa ngebandingin negara kita yang berkembang ini dengan negara maju untuk istilah outsourcing ataupun ketenagakerjaan. Tapi setidaknya, apabila UU Ketenagakerjaan yang ada bisa dijalankan sebagaimana mestinya (semua pekerja di Indonesia bisa dapat hak-hak mereka dengan layak dan para pemilik bisnis/perusahaan bisa sadar kalo setiap inci keringat buruh adalah untuk keberlangsungan hidup mereka juga sampai ekonomi makro negara). Indonesia akan sejahtera, toh dua belah pihak sudah ada standar kewajiban dan hak-hak yang saling menguntungkan (utopis sih).

4)”Sebenarnya pengusaha mau membayar tinggi, tapi pekerja juga harus punya value yang bagus. Faktanya, bukan hanya pekerja yang susah cari kerja, tapi beberapa pengusaha juga sulit cari employee yg oke. Merekrut pegawai itu butuh cost gede loh, tapi untuk mencari bibit unggul it’s worth . Menurut aku ada miss di sana. Itu adalah persoalan skill. Pemuda/i Indonesia sekarang kreatif, tidak boleh hanya mengandalkan ijasahnya semata, karena lembaran kertas banyak yang punya dan gampang diganti. So, harus punya value lebih.”

5)“Usaha apapun harus mensejahterakan pegawainya jangan memandang mereka rendah. Pandang mereka seperti keluarga, semua akan hidup damai dan penuh berkah jika bisa saling menghargai.”

6)“Masalahnya status quo kondisi saat ini angkatan kerja di Indo yang melimpah karena bonus demografi sendiri mayoritas di low skilled labor, dimana tetep aja penegakan UU Ketenagakerjaan bisa dibilang satu-satunya cara yang dampak jangka pendeknya bisa keliatan jelas.”

7)”Business is not merely about profit but the values it creates to its people that makes it worth. It is a virtual legal person yang menurutku sih mustinya dia bisa jalan dulu untuk bisa membuat perubahan di sekitarnya. Kalo mau bahagia emang butuh resources dan ya begitulah profit and value-creation. Tapi betul sih kesejahteraan pekerja di Indonesia masih perlu banget diperhatikan apapun employernya, masalah gaji yg tepat waktu, jam kerja, kesesuaian jobdesc dengan real work, work life balance, sampai hak untuk maternity leave. Kadang UU cuma buat formalitas aja kayanya. But the most important of all, apapun pekerjaan kita ya minimal bisa kasih manfaat, bisa aplikasikan ilmu, dan siapa tau ya bisa menjadi agen perubahan.”

In my opinion, jadilah buruh yang bisa diandalkan (baik dari segi pendidikan, etos kerja, sertifikasi, pengalaman kerja, komunitas, dst.) dan aware dengan hak-hakmu. Setidaknya kalau punya ilmu; kita masih bisa memilih, meskipun peluangnya kecil.

Terus gimana nasib yang “gak seberuntung itu”?

Kita bisa mulai dari hal kecil dengan terus diskusi ke orang-orang di sekitarmu terkait UU Ketenagakerjaan yang secara gak langsung alam bawah sadar mereka akan peduli. Istilahnya yaa gak dibodo-bodoin amatlah. (Tapi, jadi orang miskin hidup seringkali tidak ada pilihan, kawan). Lebih bagus lagi kalo kamu para pengusaha milenial, ya jangan jadi wirausahawan/wati yang grasa-grusu, kan katanya mau bikin impak toh! he-he.

--

--