Mendorong Petani Menuju Kedaulatan Pangan

Clara
3 min readNov 15, 2020
sumber: news.act.id

Di tengah kondisi pandemi Covid-19, sektor pertanian termasuk yang terdampak hingga menyebabkan kehidupan para petani semakin terpojok. Padahal peranan petani dalam menjaga ketersediaan pangan sangatlah penting. Untuk mengatasi permasalahan ini, sejumlah pihak mengimplementasikan berbagai program pembangunan, termasuk hubungannya dengan mengelola dan memanfaatkan sumberdaya agraria.

Faktanya, kondisi petani Indonesia saat ini masih terbelenggu oleh kemiskinan struktural yang sulit dientaskan dari masa ke masa. Paling tidak, ada tiga muara masalah yang harus dihadapi sektor pertanian yaitu kesediaan lahan, pengelolaan, dan hasil yang berdampak pada tujuan menciptakan kemandirian pangan menuju kedaulatan pangan.

Berdasarkan data BPS, penyusutan lahan terjadi secara signifikan. Hampir 120 ribu hektare lahan berubah fungsi setiap tahunnya hingga kondisi tanah yang sudah rusak. Para petani dihadapkan pada masalah luas lahan yang semakin sempit. Selain itu, beberapa permasalahan yang terjadi saat ini yaitu kepemilikan lahan petani sangat sedikit (0.3–0.9 Ha). Sebagai perbandingan, di Australia rata-rata petani memiliki 15 hektare dan di Amerika Serikat rata-rata memiliki 300 hektare lahan. Seringkali, lahan pertanian justru diperuntukkan hal lain yang tidak menunjang kedaulatan pangan.

Secara umum jenis petani di Indonesia adalah petani yang terpinggirkan. Artinya, para petani yang tidak memiliki lahan pertanian, hanya menjadi buruh tani. Terlebih, masih terjadinya monopoli pada bisnis pupuk, bibit, akses pengairan, dan saprodi lainnya. Tentu saja, petani kerap dihadapkan pada risiko ketidakpastian produksi hingga gagal panen. Hal ini menyebabkan petani yang ada di Indonesia tergolong miskin dan menjadi penyebab utama pengelolaan yang tidak memadai.

Lalu, lemahnya manajemen petani dalam pengelolaan hasil tani juga menjadi permasalahan lain yang juga harus diselesaikan. Pengelolaan pertanian menjadi kurang maksimal karena untuk mendorong peningkatan produktivitas pangan, akses petani terhadap sumber-sumber pembiayaan, terutama dari lembaga keuangan formal cukup terbatas.
Permasalahan yang kompleks ini pun menyebabkan hasil produksi padi Indonesia tahun 2019 mengalami penurunan 7,7 persen dari tahun sebelumnya.

Berbagai sumber media juga menunjukkan bahwa impor pangan secara signifikan mengalami kenaikan dari 22 juta ton pada 2014 menjadi 28 juta ton pada 2018. Tentunya, kebutuhan impor yang tinggi ini dapat memicu krisis pangan kedepannya hingga hambatan menuju kedaulatan pangan. Hal ini sangat disayangkan, karena sejatinya Indonesia dengan sebutan negara agraris, mewujudkan kedaulatan pangan adalah sebuah keniscayaan.

Dengan demikian, perlu adanya gerakan bersama berbagai pihak untuk membantu para petani meningkatkan produktivitasnya, baik dari segi pengadaan lahan, permodalan dalam proses pengelolaan hingga produksi (hasil). Perlu usaha bersama untuk mendukung para petani agar dapat mandiri dalam produksinya. Salah satunya, melalui wakaf.

Wakaf dapat berperan dalam perbaikan kondisi sosial ekonomi yang tengah terpuruk, beberapa di antaranya sektor UMKM dan pertanian. Dengan lahan pertanian berbasis wakaf, hingga wakaf tunai dari berbagai dana yang terhimpun di masyarakat dapat memberikan modal kepada petani dan dunia pertanian, hingga menjamin pengelolaan hasil pertanian. Melalui program Wakaf Pangan Produktif ini, setiap hasil padi dan lahan wakaf akan masuk ke Lumbung Beras Wakaf untuk menghasilkan beras yang berkualitas dan disimpan dalam kondisi terbaik. Gabah akan digiling, yang hasilnya akan didistribusikan kepada masyarakat, termasuk petani.

Cari tahu lebih lanjut di news.act.id

--

--