Amor Fati-Bersahabat dengan Lupus #LupusAwarenessMonth

Clara
9 min readMay 5, 2020

Lupus is invisible illness. Too sick to be healthy, yet not sick enough to be sick. Invisible illness is a double-edged sword, because people who do not live with it do not always understand it well enough to know how serious it can be.

I tried to scream
But my head was underwater

Heart made of glass, my mind of stone
Tear me to pieces, skin to bone
Lookin’ for a better place
Something’s on my mind
Always in my headspace

If I could change
The way that I see myself

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَبَتْ

Bagi sebagian orang mendapatkan sebuah sakit demam atau DBD atau tifus misalnya mungkin menjadi hal yang cukup mebuat diri uring-uringan. Merasa tidak produktif, tak berdaya, wajah tidak berseri, dsb. Atau bahkan terkadang jadi moody. Sama seperti yang saya rasakan setiap sakit. Selalu berusaha untuk dibawa main aja, ditahan-tahankan. Istilahnya, kalau gak tumbang-tumbang banget ya hajar terus.

Ketika sakit, saya pun akan berusaha sekuat tenaga mencari obat terbaik, dokter terbaik atau tindakan medis terbaik. Sejak kecil saya dibesarkan di keluarga yang selalu mengedepankan hidup sehat (tidak jajan sembarangan/makan rumah), kebersihan selalu dijaga, sakit di bawa ke dokter, dst.

Sampai akhirnya saya SMA lalu kuliah dan kerja, dimana saya adalah anak nongkrong, belajar, kegiatan, kerja gila-gilaan, intinya gak pernah gak aktif. Hajar terus, makan apa aja main di mana aja, hayuk! Meskipun dari kecil saya memang sakit-sakitan. Tetapi, saya anggap yasudah itu biasa aja, mungkin karena basic nya anak rumahan.

Saya pernah operasi amandel, kena ISPA, GERD, wasir, ambeien, operasi tumor payudara, infeksi THT, anemia, biduran (alergi kulit) tahunan, vertigo, gampang banget diare, ehmm adalagi gak yah kayaknya cukup (hahaha). Tiap bulan, tahun gonta-ganti terus. Sampai akhirnya tahun 2018 saya pernah masuk rumah sakit dimana semua penyakit jadi satu. Blek. Posisinya saya sedang baru pindah ke Jakarta, tidak punya keluarga dan teman-teman dekat juga belum ada di Jakarta.

Saking parahnya, saya harus ditransfusi darah dua kantong. Karena HB saya hanya di poin 6 dan terus turun hampir menuju 5. Dokter mengira tifus, atau keracunan makanan, plus anemia, intinya sampai saya keluar dari rumah sakit. Saya didiagnosis keracunan makanan, sama anemia, dan GERD. Saya disuruh menjaga pola makan dan tidur.

Sebagai pecandu kopi sejak SMA dan penggemar junk food, beberapa bulan setelah masuk rumah sakit, saya kembali biasa aja. Lalu, tiba-tiba Hb saya drop lagi menjadi 8. Setelah saat itu, dokter penyakit dalam mengancam mau di endoskopi atau gimana kalau gak ngubah pola makan. Yang saya bingung adalah, banyak teman-teman saya yang makannya gak karuan, telat bahkan merokok dsb tapi baik-baik saja. Kenapa saya biasa aja, tapi efek ke tubuh beda banget. Cek darah bolak balik, tidak ada hasil signifikan, semuanya baik-baik saja.

Lalu, 2019 saya pindah kerja. Sebagai orang yang cukup aktif, saya pun bekerja selalu overtime, alasannya saya gak suka nunda pekerjaan. Piket, dinas luar kota selalu saya ambil. Selain buat cuan, memang saya juga suka aja do something more. Intinya gak betah kalau gak ngapa-ngapain. Habis pulang kerja, nongki, atau gak ikut seminar apa kek. Emang gak sepadat jaman kuliah, tapi intinya gak betahan di kamar doang.

Tahun 2019 inilah, hampir tiap minggu pasti saya drop. Flu, demam, maag kambuh, wasir, bahkan sempat didiagnosis bronkitis, gonta-ganti semua intinya. Sebulan sakit pasti. Entah karena stres atau kecapekan. Gonta-ganti dokter pun udah, cek darah, rontgen, udah semua. Dan hasilnya, gak ada indikasi penyakit apa-apa. Sampai saya bosen, masak jawaban dokter selalu “kamu itu kecapekan, kurang istirahat, atau gak stres”.

Iya, tau sih.. cuma ya aneh aja. Tiap bulan atau minggu pasti drop. Saya terus searching di internet, dengerin podcast, dsb. Sampai ada satu titik dimana, tulang dan sendi saya nyeri semua dan badan kerasa lemas kayak anemia. Cuma ya namanya juga Clara, masih gak terlalu sakit pun saya masih sempat nonton konser. Lalu, beberapa hari setelahnya, tangan dan kaki saya kaku setiap pagi dan nyeri parah. Lalu puncaknya, buat ngetik saja gak bisa, sujud pun sakit sekali, disentuh saja kulitnya nyeri.

Saya ke dokter, diagnosis awalnya adalah bisa jadi rematik atau overwork. Tapi saya agak penasaran, saya tau sedikit tentang autoimun, saya pun tanya ke beberpa dokter. Tetapi, gak semua dokter mengarahkan ke sana. Termasuk, waktu saya konsultasi ke teman saya yang dokter. Lalu, ada dokter klinik di kantor yang memberikan saran “coba dilihat seminggu ini kalau gak ada perubahan cek darah autoimun ya..”. Saya searching-seraching tentang autoimun, dan makin kuat feeling buat tes ANA IF dan ANA Profile.

Dan hasilnya, titer saya 1:1000 (untuk normal biasanya 1:100 sampai 350 setau saya), lalu hasilnya strong (dapat 3+) untuk SLE alias Lupus. Apa yang saya rasakan saat itu? mulai down, agak depresi, nangis tiap malam. Dan badan saya semakin sakit (dari kepala sampai kaki), makin kaku, lemas banget, rambut rontoh parah, demam, kulit berubah drastis. Apalagi saya tau mama juga odapus, yang hampir meninggal karena telat ketahuan. 2 tahun bolak balik rumah sakit tapi nihil, alhamdulillah ketahuan pas memang sudah sangat parah, semua organ mama sudah diserang.

Ada satu momen yang saya ingat kenapa saya se-down itu. Bukan karena rasa sakitnya. Karena saya tahu kalau SLE itu penyakit kronis setara kanker, cuma ada istilah remisi (bukan sembuh) dan harus minum obat seumur hidup. Selain itu, saya sedih sekali karena saya sedang dalam umur produktif, karir saya cukup bagus (mati gw dipecaaat nanti), kalau gak dipecat pun memang saya bisa diterima di corporate yang berkelas? saya belum menikah (apa ada cowok yang mau sama cewek penyakitan kronis, mahal pula kan biayanya), belum lanjut S2, gak bisa nongkrong ampe pagi, dst.

Tiba-tiba dan seringkali merasa, I’m worthless and I’m difabel now. Karena saya tau, odapus akan sangat terbatas kemampuan fisiknya, belum lagi pola makan, pola hidup, biaya medis yang mahal, dsb. Harus high-maintanance. Dan saya jauh-jauh merantau itu karena punya segudang rencana, saya sendirian di Jakarta bukan tanpa tujuan, dan saya harus dibatasi dengan penyakit ini.

Hilang percaya diri? tentu. Apalagi waktu ngeliat rambut yang terus rontok sampai hampir botak setengah, kulit wajah menjadi gelap dan ada kemerahan. berat badan merosot (sampai saat ini masih di BB 40 kg). Saya ingat sekali kondisi mama saya waktu masih belum terkontrol. beliau hampir seperti mayat hidup, kurus kering dsb. Saya selalu berpikir “mama sih enak, kan mama udah nikah, ngerasain punya anak, dst istilahnya udah emang orang tua”. Aku? aku belum ngapa-ngapain, masih banyak yang harus aku kejar. Ya Allah, aku gak mau mati muda.

Saya lalu ijin hampir sebulan dari kantor.

Sebenarnya saya sudah gak sesakit seperti sebelumnya, cuma mental saya down gila-gilaan. Gak mau ketemu orang, nangis tiap malam, badan lemas, dan akhirnya memutuskan buat pulang kampung seminggu (Alhamdulillah kantor dan atasan saya cukup kooperatif). Saya tau sebenarnya saya butuh lebih, mungkin seharusnya saya cuti dua bulan, untuk benar-benar stabil secara fisik dan psikis. Tapi satu, saya cuma takut dipecat dan mau menunjukkan saya baik-baik saja, meskipun odapus.

Tentu saja bulan-bulan berikutnya, saya sudah mulai move on, gak baperan, gak overthinking. Tapi karena efek obat steroid dan sakit yang tiba-tiba kambuh dst. Sering bikin saya merasa alone, worthless, gak asyik lagi, intinya mulai membenci keadaan (ngegas-ngegas sendiri), baperan, dll.

Alhamdulillah, keluarga dan teman dekat grup odapus selalu support. Meskipun, gak ada yang bisa membantumu bangit dari keterpurukan selain dirimu sendiri. Seriusan! Bahkan saat ini, meskipun mental saya jauh lebih stabil, dan fisik meskipun kambuh-kambuhan saya tetap perlu ekstra memanaj pikiran, menerima takdir, dan fokus untuk benar-benar mencintai diri sendiri.

Istilahnya ni yah, kalau ada yang mau ambil kerjaanku, sok atuh ambil aja. Dibilang PHP, karena sering tiba-tiba batal nongki karena sakit, yaudah, mau dibilang “bawa pasien” atau reaksi lebai karena aku sakit, atau gak bisa ikutan acara karena tiba-tiba gak enak badan, yaudah bodo amat. Saya belajar untuk tidak perlu membuktikan apa-apa kepada orang lain, menurunkan ekspektasi, serta tidak terlalu ngoyo.

Tapi saya berjanji, tetap melakukan semaksimal mungkin yang saya bisa. Meskipun, high-maintenance. Thank God, saya cuma butuh 1–2 bulan buat bisa menerima keadaan. Karena di grup odapus, mereka ada yang butuh tahunan untuk bisa bangkit secara mental, dan menerima keadaan. Bahkan ada yang perlu ke psikolog maupun psikiater secara rutin.

Tidak dipungkiri, efek dari konsumsi steroid itu amat sangat mempengaruhi mood. Salah satunya adalah mental down (bisa sampai depresi) atau uring-uringan, ngegas istilahnya. Saya jarang down, cuma lebih sering ngegas. Selain itu, saya jadi sering lupaan (brainfog), beneran bisa jadi kayak orang linglung tiba-tiba, dan itu bikin emosi. Sering sekali kalau kambuh, mood pasti ancur-ancuran, dan kelelahan parah.

Setiap saya mulai lelah minum obat setiap hari (tidak boleh absen), dengan sangat banyak (kadang bisa sampai 14 butir obat kalau sedang banyak sakit yang kambuh), duit saya yang habis banyak, saya harus lihat grup autoimun saya. Saya tau banyak odapus yang sudah belasan bahkan puluhan tahun tetap minum obat, bayar dokter yang lebih senior dan mahal, dan tidak lelah berjuang untuk terus menjalani hidup.

Saya tahu, asuransi tidak menanggung biaya pengobatan kami full. Saya tahu, penyakit ini berbiaya mahal, bahkan bagi yang sudah parah bisa sangat mahal. Bahkan untuk satu dokter senior, sekali konsul bisa seharga 1 juta, belum termasuk obat, dan ada beberapa obat yang harus impor (untuk beberapa kasus).

Di grup, seringkali ada teman-teman yang harus operasi tulang belakang atau cuci darah, atau apa saja yang sudah lebih berat, tapi tetap aktif di grup. Berbagi resep makanan sehat, saling share kuliah online terkait autoimun,dsb bahkan banyak dokter yang juga punya autoimun bahkan sampai 4 jenis misalnya tapi tetap berbagi dan beraktivitas.

It’s amazing, seriously! Dalam hati, kok bisa siiiih? Aku aja gak kuat ya Allah. Tapi Saya sadar, saya cuma baru seperti ini saja kok sudah mau nyerah, cuma nyeri doang kan? cuma ini aja kan yang kambuh. Saya benar-benar belajar berpikir positif, tahu batasan diri, menjaga pola hidup, secara konsisten dan disiplin. Karena setiap saya stres, kecapekan PASTI tubuhnya ngasih alarm, dan dosis obat bisa makin tinggi atau banyak.

Sebagai orang yang sering analisis diri, seringkali saya bolak-balik untuk kontrol supaya saya tenang. Karena, SLE itu bisa bikin tiba-tiba mata saya burem parah (saya pernah mendadak minus saya jadi 7), sesak napas , pendarahan tiba-tiba, infeksi kandung kemih, dst. Saya rutin sekali kontrol, bahkan kalau menurut saya ada yang gak beres, saya akan ke dokter sebelum waktunya kontrol. Apalagi sekarang sedang wabah Covid-19 dan saya harus tetap bekerja (tidak WFH), kehidupan yang sangat menantang.

Tapi dokter saya selalu dengan ramah bilang “gak papa, itu lagi kambuh aja, banyak istirahat, jangan stres ya.. Kalau kamu gak masuk kerja, juga nanti gak punya gaji dong, gpp masuk aja. Kalau dirasa capek, istirahat, kalau lagi gak bisa masuk ya ijin. Ini dinaikin dosisnya aja nanti diturunin lagi. Kamu hebat loh konsisten makan sehat gak MSG dll tetap semangat, jangan lupa olahraga. :) ” — hampir selalu begitu.

Sampai di bulan Mei ini, dosis steroid saya dinaikan dari 8 mg menjadi 24 mg. “dok, kenapa tinggi bangeet (mau nangis di ruangan tapi tetap biasa aja), oh ya kenapa badan saya biru-biru semua yaa dok? gpp kan?” tapi saya sudah gak pendarahan lagi dok Alhamdulillah.

Ini gak tinggi kok, saya biasa ngasih orang bisa 16 mg kali 3, Ini dinaikin dosisnya aja kan kamu lagi kondisinya begitu, nanti diturunin lagi. Saya kasih obat tidur supaya gak kebangun-bangun terus juga karena sakit. Udah gpp kok, jangan stres ya.. istirahat. Harus semangat dong :) .

Begitulah. Saya sadar berarti psikis saya lagi gak beres, saya harus disiplin lagi untuk manajemen pikiran dan hati. Gak boleh kecapekan, titik. Harus happy-happy lagi. Menjadi Odapus memang tidak mudah, tetapi banyak hal yang saya pelajari dan so far, lebih legowo dalam menghadapi tantangan hidup yang lain. Tapi psikis yang up-down itu tiap hari datang.

Selain itu, menjadi Odapus saya semakin mengurangi judging terhadap orang lain, dan lebih peduli (tapi rasanya saya masih belum bisa nerapin ini dikerjaan deh he-he). Saya mencoba put in their shoes. Bisa jadi orang itu ternyata menyimpan sakit a, b, atau keluarganya, a, b, c. Everyone has their own struggle and you never know it exactly. Kalau gak bisa ngasih kebahagiaan, minimal gak nambahin beban hidup orang lain.

The Last but not the least, saya selalu teringat dengan istilah amor fati yang pernah saya baca sebelum saya punya status Odapus dan jadi frase favorit saya sampai detik ini.

Amor fati (lit. “love of fate”) is a Latin phrase that may be translated as “love of fate” or “love of one’s fate”. It is used to describe an attitude in which one sees everything that happens in one’s life, including suffering and loss, as good or, at the very least, necessary.

Amor fati is a mindset that you take on for making the best out of anything that happens: Treating each and every moment — no matter how challenging — as something to be embraced, not avoided. To not only be okay with it, but love it and be better for it. So that like oxygen to a fire, obstacles and adversity become fuel for your potential.

HAPPY LUPUS AWARENESS MONTH! Let’s Make Lupus Visible — May 2020

--

--