Indonesia, sebagai negara yang memiliki daerah dan suku yang beranekaragam tentulah memiliki kepercayaan asli khas daerah tersebut. Kepercayaan ini sekarang semakin tergerus oleh perubahan zaman karena masuknya agama-agama lain yang sedikit banyak telah mengubah kebudayaan yang ada. Agama asli nusantara yang diangkat kali ini adalah agama Kaharingan.
Agama Kaharingan merupakan kepercayaan asli suku Dayak. Sebutan Kaharingan diambil dari kata Danum Kaharingan, yang berarti “air kehidupan”[1]. Sebutan itu digunakan sesudah Perang Dunia ke-II sebagai kesadaran akan kepribadian kebudayaan mereka sendiri dan suatu keinginan kuat untuk menghidupkan kembali kebudayaan Dayak yang asli.
Suku Dayak merupakan penduduk asli pulau Kalimantan yang terdiri dari beberapa anak suku. Pada umumnya orang-orang Dayak yang masih memeluk agama Kaharingan masih disebut suku Dayak, tetapi sebagian yang memeluk agama Islam menyebut dirinya Melayu. Hal ini dilandaskan atas pendapat Ch. F. H. Dumont dalam bukunya yang terbit pada tahun 1924 yang mengatakan:
“Orang-orang Dayak ialah penduduk pulau Kalimantan yang sejati, dahulu mereka ini mendiami pulau Kalimantan, baikpun pantai-pantai baikpun sebelah barat. Akan tetapi tatkala orang Melayu dari Sumatera dan Tanah Semenanjung Melaka datang ke situ terdesaklah orang Dayak itu lalu mundur., bertambah lama, bertambah jauh ke sebelah darat pulau Kalimantan. Lain daripada orang Melayu telah datang pula orang Bugis dan Makasar mendiami pantai timur dan pantai barat pulau Kalimantan. Demikian pula orang Jawa telah datang semasa Kerajaan Majapahit . Dan orang asing yang datang di Kalimantan sebelah barat, yaitu orang Tionghoa.”[2]
Oleh karena itu, Kalimantan sering terdengar sebutan suku Melayu. Terlepas dari penetapan sebutan itu, Kaharingan sebagai agama asli nusantara daerah Kalimantan tidak dapat dipungkiri bahwa di dalmnya dijumpai pedoman-pedoman hidup yang menuju kebaikan.
Di dalam mengekspresikan keyakinannya dijumpai bermacam-macam cara pengekspresian, tetapi pada prinsipnya sama dengan menyembah Tuhan Allah penciptanya, hanya cara dan sebutannya berbeda. Hal ini dapat dimaklumi karena jauhnya tempat tinggal dari satu suku ke suku lainnya dan juga sulitnya komunikasi. Di samping itu juga dikarenakan tidak adanya suatu pegangan tertulis yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai penganut kepercayaan yang diyakininya.
Apa yang dilakukan pada mulanya hanyalah berdasarkan apa yang telah diajarkan ataupun diceritakan oleh orang tua kepada anak-anaknya secara turun-temurun, jadi yang digunakan hanyalah komunikasi lisan dan komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol sehingga dapat dimaklumi apabila terdapat kekurangan atau pun kelebihan dalam penyampaiannya. Namun, lambat laun Kaharingan mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau Balai Kaharingan dengan kitab suci mereka adalah Panaturan dan buku-buku agama lain, seperti Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawar (petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras).
Sesuai keyakinan suku Dayak yang beragama Kaharingan, mereka pantang menyebutkan nama para Dewanya. Hanya pemuka agama Kaharingan yang biasa disebut Pisur/Tukang Mahanteran/Tukang Balian atau Jaya/Badewa lah yang boleh menyebut nama Dewa. Di dalam agama ini pantang menyebut nama-nama Dewa yang tinggal di langit ke 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 secara sembarangan kecuali dalam suatu Upacara Adat/Upacara ke-agamaan. Suku Dayak yang beragama Kaharingan yakin bahwa selain dunia yang kita diami ini, masih ada lagi dunia di atas langit, dan karena langit ada tujuh tingkat maka hal ini mereka sebut negeri di atas langit. Pada tiap-tiap tingkat langit tersebut dikuasai oleh penguasa dan Ranying adalah penguasa tertinggi yang berarti semua Dewa tunduk kepada Ranying. Keyakinan akan adanya lapisan-lapisan atau tingkatan pada langit ini sepintas mirip dengan kepercayaan agama Islam, namun yang berbeda adalah mereka percaya adanya Dewa sedangkan agama Islam hanya percaya kepada Allah sebagai satu-satunya penguasa tanpa embel-embel kekuatan lain.
Umat Kaharingan percaya bahwa alam sekitar penuh dengan makhluk-makhluk halus dan roh-roh (ganan) yang menempati tiang rumah, batu-batu besar, pohon-pohon besar, hutan belukar, air, dan lain-lain. Kepercayaan terhadap ruh nenek moyang dan makhluk-makhluk halus lainnya yang menempati alam sekelilingnya itu, terwujud dalam upacara-upacara keagamaannya, kecuali upacara-upacara kecil yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu dan yang pada umumnya berupa upacara pemberian sajian kepada roh-roh. Upacara-upacara itu seperti upacara menyambut kelahiran anak, upacara memandikan bayi untuk pertama kalinya, upacara memotong rambut bayi, dsb.
Di dalam agama Kaharingan, apabila orang Dayak meninggal maka ada upacara penguburan dan pembakaran mayat. Mayat dikubur dahulu dalam sebuah peti mayat dari kayu berbentuk perahu lesung (raung). Kuburan itu dianggap sebagai kuburan sementara karena upacara yang terpenting adalah upacara pembakaran mayat secara besar-besaran yang disebut tiwah (Ot-Danum daro; Ma’anjanidjambe).
Pada upacara itu tulang belulang terutama tengkoraknya dari semua kaum kerabat yang telah meninggal dalam suatu masa yang tertentu digali lagi dan dipindahkan ke suatu tempat pemakaman yang tetap, sebuah bangunan berukiran indah yang disebut sandung. Sifat upacara ini selalu besar-besaran dan berlangsung dua-tiga minggu berturut-turut, pengunjung yang hadir pun berasal dari berbagai desa untuk merayakan upacara yang istimewa ini. Demikian suatu upacara tiwah selalu memakan banyak biaya dan karena itu terpaksa harus dilakukan sekali dalam tujuh puluh delapan tahun. Upacara adat seperti ini dipimpin oleh seorang ahli upacara yang disebut belian.
Selain upacara-upacara istimewa seperti yang disebutkan sebelumnya, orang Dayak juga mengenal upacara-upacara keagamaan yang hanya dilakukan oleh beberapa keluarga. Upacara-upacara tersebut ada sangkut-pautnya dengan dengan pertanian di ladang. Upacara tersebut dimaksudkan untuk menambah kesuburan tanah, untuk menolak hama, dan untuk meningkatkan hasil bumi. Di dalam upacara-upacara tersebut yang tetap dipimpin oleh seorang belian sering tampak berbagai unsur gaib.
Terlepas dari berbagai tradisi dan upacara-upacara adat yang hanya digambarkan secara umum oleh penulis, suku Dayak yang masih menganut agama Kaharingan, pada awalnya harus terdesak menggabungkan diri dengan agama Hindu Dharma, kendati unsur-unsur kepercayaan mereka tidak selalu sama dengan agama Hindu. Misal: Kaharingan mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Kitab suci agama mereka adalah Panaturan dan buku-buku agama lain, seperti Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawar (petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), dan sebagainya berbeda dengan apa yang ada pada ajaran agama Hindu.
Pada masa Orde Baru, para penganutnya berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan. Pemilihan integrasi ke Hindu ini bukan karena kesamaan ritualnya, tetapi dikarenakan Hindu adalah agama tertua di Kalimantan. Jikapun memang terpaksa mereka menerima peng-Hinduan tersebut, itu karena alasan agar eksistensi mereka diakui. Para penghayat kepercayaan juga memiliki sistem keyakinan dan tradisi ritual sendiri yang tidak bisa disubordinasikan kepada salah satu agama yang diakui. Sebenarnya, adanya suatu agama tidak perlu mendapatkan pengakuan dari suatu negara karena bisa jadi suatu agama itu ada sebelum negara tersebut ada. Pada agama Hindu Kaharingan ini telah terjadi pluralitas internal agama, sehingga heterogenitas pada agama Hindu sendiri di Indonesia semakin kompleks.
Hal tersebut menjadi pertanyaan mendasar atas hakikat agama sendiri. Agama itu apa? Telah banyak dilakukan penelitian dan kajian terhadap pokok penting ini, Wilfred Cantwel misalnya menegaskan bahwa hakikat agama adalah iman. Dengan demikian, Smith berkeberatan terhadap pemakaian istilah-istilah yang seakan-akan meliputi semuanya (embracing) bagi agama-agama tertentu seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan seterusnya. Menurut dia terjadilah semacam reifikasi yaitu bahwa pengertian-pengertian yang bersifat meliputi segala sesuatu itu dipakai seakan-akan istilah itu memang secara “lengkap” mengacu kepada perkara yang ada.
Dari paparan tulisan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pergumulan bangsa untuk mencari dan mendapatkan “Kepribadian Bangsa”, terlihat pada usaha-usaha untuk menggali dari sumber-sumber rohani yang ada di Indonesia. Di dalam hubungan ini, pemimpin-pemimpin suku Dayak giat menggerakkan, mempropagandakan dan membantu usaha-usaha untuk melahirkan kembali agama-suku dan demikian juga kebudayaannya melalui gerakan-gerakan seperti Serikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI), Persatuan Adat Dayak Maanyan (PADMA), dan lain-lain. Dengan demikian pluralitas internal dalam agama seyogyanya menjadi acuan berpikir masa depan dalam menanggapi kesenjangan eksistensi beragama.
Sumber:
Riwut, Tjilik. 2007. Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta: NR Publishing.
Koentjaraningrat. 1994. Di Pedalaman Borneo: Perjalanan dari Pontianak ke Samarinda 1894. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudajaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Ukur, Fridolin. 2002. Tuaiannya Sungguh Banyak: Sejarah Gereja Kalimantan Evangelis Sejak Tahun 1835. Jakarta: Gunung Mulia.
Schumann, Olah Herbert. 2003. Agama dalam Dialog: Pencerahan, Pendamaian, dan Masa Depan: Punjung Tulis 60 Tahun Prof. Dr. Olah Herbert Schumann. Jakarta: Gunung Mulia.
AF, Ahmad Gaus. 2009. Sang Pelintas Batas: Biografi Djohan Effendi. Jakarta: ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace).
Ghazali, Abd. Moqsith, Djohan Effendi. 2009. Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi. Jakarta: ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace).
[] Dalam dongeng-dongeng suci air itu dapat memberi kehidupan kepada manusia (Ds. F. Ukur.1960. Tuaiannja Sungguh Banjak. DJakarta: hlm. 14)
[2] Ch. F.H. Dumont, Matahari Terbit, 1924